Maskulinitas Perempuan Pada Iklan Shampo Clear
Maskulinitas Perempuan Pada Iklan Shampo Clear
Deskripsi iklan
Iklan diatas merupakan salah satu
contoh iklan produk shampoo clear , yang dipublikasikan kepada masyarakat pada
era 90-an. Pada umumnya iklan shampo menonjolkan kelebihan produk, misalnya
membuat rambut menjadi sehat sehingga nampak lebih lembut, halus, berkilau,
atau bahkan lurus. Tetapi berbeda halnya dengan iklan shampoo clear yang
mengambarkan seorang gadis cantik mampu mengalahkan dua laki-laki berotot. Iklan yang menggambarkan kekuatan dan ketegasan perempuan
semacam itu dalam proses pembelajaran publik dapat membongkar stereotip bahwa
perempuan itu ‘lembek’ secara fisik maupun mental.
Literasi
bacaan.
I. Analisis Gender terhadap Iklan.
Perempuan dalam iklan dicitrakan
harus memenuhi ciri-ciri ideal, seperti: cantik, anggun, muda, smart. Kemudaan
dalam gambaran iklan, bukan lagi semata-mata kategori umur semata, melainkan
terkait dengan atribut yang melekat pada tubuh perempuan. Kemampuan bela
diri juga tergambarkan dalam iklan,
walaupun jumlahnya masih terbata. Namun, perempuan yang jago bela diri dalam
gambaran iklan shampo clear tetap saja menunjukkan perempuan terkooptasi
sebagai objek perluasan pasar. Konsekuensinya pada masyarakat, terutama
perempuan adalah semakin menguatnya citra/image bahwa perempuan harus selalu
tampil cantik, putih, langsing, berambut indah, lemah lembut, dan menarik
perhatian. Akibatnya, perempuan menjadi sibuk untuk memperhatikan dan merawat
tubuhnya. Jika ada perempuan tidak/kurang ideal dapat tampil dalam iklan,
kebanyakan dicitrakan negatif, seperti: perempuan galak, pelit, dan cerewet.
Selain itu, Menyangkut kesenjangan-kesenjangan gender yang masih terjadi, dan
upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mengubah mind set yang selama ini
berkembang dalam masyarakat. Adapun konstruksi realitas yang dapat ditangkap
melalui iklan menunjukkan adanya:
Kesenjangan gender, di mana perempuan pada posisi terdiskriminasi atau
tersubordinasi.
II. Citra Perempuan.
Penciptaan realitas menggunakan
satu model produksi yang oleh Baudrillard (Piliang, 1998 : 228) disebutnya
dengan simulasi, yaitu penciptaan model – model yang tanpa asal usul atau
realitas awal. Hal ini olehnya disebut hyper reality. Melalui model simulasi,
manusia dijebak di dalam suatu ruang, yang disadarinya sebagai nyata, meskipun
sesungguhnya semu, maya atau khayalan belaka. Menurut Piliang, (1998 : 228 )
ruang realitas semu itu dapat digambarkan melalui analogi peta. Bila di dalam
suatu ruang nyata, sebuah peta merupakan representase dari sebuah teritorial,
maka di dalam model simulasi petalah yang mendahului teritorial. Realitas
(teritorial) sosial, kebudayaan atau politik kini dibangun berdasarkan model –
model (peta) fantasi yang ditawarkan televisi, iklan, bintang – bintang layar
perak, sinetron atau tokoh – tokoh kartun. Semua itu kemudian menjadi model
dalam berbagai citra, nilai – nilai dan makna – makna dalam kehidupan sosial,
kebudayaan atau politik. (Burhan Bungin : 2008 ).
Citra perempuan seperti yang
dijelaskan oleh Tomagola (1998 : 333 _ 334), citra perempuan ini tergambarkan
sebagai citra pigura, citra pilar, citra pinggan, dan citra pergaulan. Walaupun
citra semacam ini ditemukan dalam iklan – iklan media cetak, namun citra
perempuan yang dijelaskan oleh Tomagola ini juga terdapat pada iklan televisi.
Dalam banyak iklan terjadi penekanan terhadap pentingnya perempuan untuk selalu
tampil memikat dengan mempertegas sifat perempuannya secara biologis, seperti
memiliki waktu menstruasi, memiliki rambut hitam dan panjang dan sebagainya.
Pencitraan perempuan seperti
dalam sektor domestik tidak sekedar dilihat sebagai objek, namun juga dilihat
sebagai subjek pergaulan perempuan dalam menempatkan dirinya dalam realitas
sosial, walaupun tidak jarang perempuan lupa bahwa mereka telah masuk dalam
dunia hiper-realitik, yaitu sebuah dunia yang hanya ada dalam media yaitu dunia
realistis yang dikonstruksi oleh media iklan televisi.
Baudrillard melihat bahwa taraf
produksi image tersebut telah membawa perubahan masyarakat secara kualitatif
yang di dalamnya perbedaan antara realitas dan image menjadi kabur, kehidupan
sehari-hari mengalami estetisikasi. Ruang dan waktu merupakan dunia
simulasional atau dia sebut dengan budaya post modern. Dalam wacana ini fungsi periklanan
telah bergeser dari penekanan rasionalitas terhadap kepuasan fungsional menjadi
penekanan atas keikutsertaan kemampuan audiens dalam menciptakan tampakan -
tampakan luar dari makna melalui manipulasi ikatan dan pemunculan yang pada
akhirnya menjadi ciri yang konstan dari modernitas akhir. Dalam abad gaya
hidup, penampilan diri itu justru mengalami estetisisasi, “estetisisasi
kehidupan sehari-hari. Dalam ungkapan Chaney, “penampakan luar” menjadi salah
satu situs yang penting bagi gaya hidup. Hal-hal permukaan akan menjadi lebih
penting daripada substansi. Gaya dan desain menjadi lebih penting daripada
fungsi. Gaya menggantikan substansi. Kulit akan mengalahkan isi. Pemasaran
penampakan luar, penampilan, hal-hal yang bersifat permukaan atau kulit akan
menjadi bisnis besar gaya hidup. Dalam penelitian ini, konsep “penampakan luar”
yang dipaparkan merupakan sebuah konsep penampilan.
Kesimpulan.
Penelitian ini menunjukkan bahwa
iklan di televisi dapat memperkuat dan merepresentasikan gambaran perempuan
sesuai dengan kenyataan dalam masyarakat, sekaligus mengkonstruksi dan
mensimulasikan gambaran baru tentang perempuan, baik yang berbeda dengan
kenyataan maupun yang bertentangan degan kenyataan. Gambaran perempuan dalam
iklan banyak mengalami perubahan. Nilai-nilai gender baru semakin banyak hadir,
di tengah-tengah nilai gender lama yang bertahan. Namun, pergeseran tersebut
perlu disikapi secara kritis. Dalam sejumlah iklan, nampak bahwa perempuan
masih direndahkan dan dicitrakan negatif. Perempuan memiliki citra yang berbeda
karena mengkonsumsi produk yang diiklankan. Perempuan belum dipandang sebagai
seorang makhluk yang memiliki potensi, keahlian dan kapasitas intelektual,
memiliki kualitas pribadi dan kompetensinya sendiri.
Pada umumnya gambaran perempuan
dalam iklan cenderung mencerminkan nilai-nilai yang berakar dari apa yang
disebut oleh kaum feminis sebagai konsep perbedaan gender antara laki-laki dan
perempuan karena di dalamnya terkandung suatu gagasan yang cenderung
memarjinalkan, mensubordinasikan, dan mendiskriminasikan hak dan peran kaum perempuan
dengan pandangan yang bersifat stereotipe. Hal ini bersumber pada pandangan
gender yang keliru sehingga merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Ini adalah
gambaran umum konstruksi sosial yang menurut Mill seperti dikutip oleh Budiman
merupakan hasil dari suatu sistem pendidikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Efianingrum, A. (2009). Citra Perempuan dalam Iklan di
Televisi. Artikel Humaniora.
Kurnia, N. (2004). Representasi Maskulinitas dalam
Iklan. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik JSP, 8(1), 17-36.
Astuti, Y. D. (2016). MEDIA DAN GENDER (Studi
Deskriptif Representasi Stereotipe Perempuan dalam Iklan di Televisi
Swasta). Profetik, 9(2).
Abdullah, I. (2003). Penelitian berwawasan gender
dalam ilmu sosial. Humaniora, 15(3), 265-275.
Budiman, Arief,
Pembagian Kerja Secara Seksual, Jakarta: PT. Gramedia, 1982.
Komentar
Posting Komentar